Senin, 24 Agustus 2009

Belajar Bersatu

Ketika kekalahan, tragedi, kelaparan, dan pembantaian mendera jasad Islam kita, kita selalu saja menyoal dua hal : konspirasi Barat dan lemahnya persatuan umat Islam. Tangan-tangan syetan Yahudi seakan merambah di balik setiap musibah yang menimpa kita. Dan kita selalu tak sanggup membendung itu, karena persatuan kita lemah.

Mari kita membicarakan tentang persatuan, sejenak, dari sisi lain. Ada banyak faktor yang dapat mempersatukan kita : aqidah, sejarah, dan bahasa. Tapi semua faktor tadi tidak berfungsi efektif menyatukan kita. Sementara itu, ada banyak faktor yang sering mengoyak persatuan kita. Misalnya, kebodohan, ashabiyah, ambisi, dan konspirasi dari pihak luar.

Mungkin itu yang sering kita dengar setiap kali menyoal masalah persatuan. Tapi di sisi lain yang sebenarnya mungkin teramat remeh, ingin ditampilkan di sini.

Persatuan ternyata merupakan refleksi dari “suasana jiwa”. Ia bukan sekedar consensus bersama. Ia, sekali lagi, adalah refleksi dari “suasana jiwa”. Persatuan hanya bisa tercipta di tengah suasana jiwa tertentu dan tak akan terwujud dalam suasana jiwa yang lain. Suasana jiwa yang memungkinkan tercipta persatuan, harus ada pada skala individu dan jamaah.

Tingkatan ukhuwwah (maraatibul ukhuwwah) yang disebut Rasulallah saw., mulai dari salaamatul shadr hingga itsar, semuanya menyacu pada suasana jiwa. Jiwa yang dapat bersatu adalah jiwa yang memiliki watak “permadani”. Ia dapat diduduki oleh yang kecil dan besar, alim dan awam, remaja atau dewasa. Ia adalah jiwa yang besar, yang dapat ‘merangkul’ dan ‘menerima’ semua jenis watak manusia. Ia adalah jiwa yang digejolaki oleh keinginan kuat untuk memberi, memperhatikan, merawat, mengembangkan, membahagiakan, dan mencintai.

Jiwa seperti itu sepenuhnya terbebas dari mimpi buruk “kemahahebatan”, “kemahatahuan”, “keserbabisaan”. Ia juga terbebas dari ketidakmampuan untuk menghargai, menilai, dan mengetahui segi-segi positif dari karya dan kepribadian orang lain.

Jiwa seperti itu sepenuhnya merdeka dari ‘narisme’ individu atau kelompok. Maksudnya bahwa ia tidak mengukur kebaikan orang lain dari kadar manfaat yang ia peroleh dari orang itu. Tapi ia lebih melihat manfaat apa yang dapat ia berikan kepada orang tersebut. Ia juga tidak mengukur kebenaran atau keberhasilan seseorang atau kelompok berdasarkan apa yang ia ‘inginkan’ dari orang atau kelompok tersebut.

Salah satu kehebatan tarbiyah Rasulullah saw., bahwa beliau berhasil melahirkan dan mengumpulkan manusia-manusia ‘besar’ tanpa satupun di antara mereka yang merasakan ‘terkalahkan’ oleh yang lain. Setiap mereka tidak berpikir bagaimana menjadi ‘lebih besar’ dari yang lain, kebanyakan mereka berpikir bagaimana mengoptimalisasikan seluruh potensi yang ada pada dirinya dan mengadopsi sebanyak mungkin ‘keistimewaan’ yang ada pada diri orang lain.

Umar bi Khatthab, mungkin merupakan contoh dari sahabat Rasulallah saw. yang dapat memadukan hampir semua prestasi puncak dalam bidang ruhiyah, jihad, qiyadah, akhlak, dan lainya. Tapi semua kehebatan itu sama sekali tidak ‘menghalangi’ beliau untuk berambisi menjadi ‘sehelai rambut dalam dada Abu Bakar’. Sebuah wujud keterlepasan penuh dari mimpi buruk “kemahahebatan”.

Semoga melalui tulisan ini, kita senantiasa berusaha untuk menuju langkah menggapai istana “persatuan” yang kokoh. Dengan begitu Islam akan semakin eksis di sepanjang masa. Wallahu a’lam bishshowab.



M. Iskarim
edit